NARASI21.ID – Di era digital yang serba cepat ini, generasi Z sering kali terjebak dalam pola pikir yang disebut “toxic productivity“. Konsep ini merujuk pada individu yang terus-menerus terdorong untuk bekerja dan beraktivitas sepanjang waktu. Dukungan dari budaya kompetitif juga berfungsi sebagai pendorong bagi individu untuk selalu produktif dan menghindari pemborosan waktu. Meskipun situasi ini sering kali dianggap sebagai kebiasaan positif, kenyataan bahwa fenomena ini dapat membalikkan masalah serius, seperti munculnya Burnout Syndrome (sindrom kelelahan kerja) jika tidak dikelola dengan baik. Kelebihan produktivitas saat ini dikenal sebagai tren “produktivitas beracun”. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, fenomena ini tidak hanya menimpa orang dewasa yang sudah bekerja, tetapi juga menjangkau remaja berusia 18-23 tahun termasuk dalam generasi.(Alni Tsabita et al., 2023)
Produktivitas yang tidak sehat telah muncul sebagai masalah yang mendesak di kalangan Generasi Z, kelompok yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Generasi ini memiliki posisi yang unik dalam lanskap digital yang memperkuat persaingan dan tekanan untuk menjadi yang terbaik. Saat mereka menjalani kehidupan di dunia pendidikan dan profesional, banyak individu Gen Z mendapati diri mereka terperangkap dalam siklus perjuangan tanpa henti untuk meraih prestasi, yang sering kali mengorbankan kesehatan mental dan fisik mereka. Fenomena produktivitas yang tidak sehat, yang dicirikan oleh obsesi yang tidak sehat dengan hasil yang konstan, telah mendapatkan perhatian yang signifikan, terutama setelah pandemi COVID-19, yang mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. (Alni Tsabita et al., 2023)
Akar dari produktivitas yang buruk dapat ditelusuri kembali ke budaya kerja keras yang merajalela yang mengagungkan kesibukan sebagai lambang kehormatan. Bagi banyak orang di Generasi Z, pola pikir ini diperkuat oleh platform media sosial yang memamerkan kehidupan yang penuh dengan prestasi. Tekanan untuk mempertahankan penampilan seperti itu mengarah pada ekspektasi yang dipaksakan sendiri yang dapat menjadi sangat membebani. Akibatnya, individu muda sering menyamakan harga diri mereka dengan tingkat produktivitas mereka, menumbuhkan keyakinan yang merugikan bahwa mereka harus selalu “aktif” agar dihargai. (Alni Tsabita et al., 2023)
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa Generasi Z mengalami tingkat stres dan kelelahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di tempat kerja. Persentase signifikan dari kelompok demografi ini melaporkan merasa kewalahan oleh tanggung jawab mereka, dengan banyak yang berjuang untuk menemukan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan aspirasi profesional mereka. Dorongan konstan untuk berprestasi dapat menyebabkan efek kesehatan yang merugikan, termasuk kecemasan, depresi, dan kelelahan fisik. Saat mereka bergulat dengan tantangan ini, menjadi jelas bahwa metrik keberhasilan tradisional mungkin perlu dievaluasi ulang. (Ramadhina et al., 2023)
Produktivitas sering dipandang sebagai hal yang positif, terutama di lingkungan akademis. Namun, ketika dorongan untuk produktif menjadi obsesi yang berlebihan dan terus-menerus, muncullah fenomena yang disebut Toxic Productivity. Rasa ini menggambarkan dorongan yang ekstrem untuk selalu berproduksi tanpa henti, meskipun hal itu mengorbankan kesehatan fisik, mental, dan keseimbangan hidup. Dalam konteks perkuliahan, produktivitas beracun dapat menjadi masalah serius yang mengganggu kesejahteraan mahasiswa.(Alni Tsabita et al., 2023)
Toxic productivity adalah dorongan untuk selalu berusaha produktif tanpa henti, bahkan setelah tugas selesai. Ini mencakup keinginan yang berlebihan untuk bekerja terus menerus, di mana individu merasa bahwa nilai diri mereka bergantung pada seberapa banyak yang dapat mereka hasilkan. Ketika mereka mengambil waktu istirahat atau terlibat dalam aktivitas yang dianggap tidak produktif, sering kali muncul perasaan bersalah atau rendah diri. Kondisi ini dapat mengakibatkan stres, kelelahan, gangguan kesehatan mental, dan merusak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.(Ramadhina et al., 2023)
Dampak Toxic Productivity
Toxic productivity menyebabkan individu, terutama remaja seperti siswa dan pelajar, merasa bersalah ketika mereka tidak memproduksi, menciptakan, atau menyelesaikan tugas. Mereka yang terjebak dalam pola ini sering kali menilai diri sendiri dengan keras, bekerja terlalu keras, dan memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri mereka. Hal ini membuat mereka sulit merasa puas dan bahkan kehilangan waktu untuk diri sendiri, sementara mereka terus memforsir diri dan menekan tekanan internal. (Anjum, A., 2018).
Akibatnya, remaja yang mengalami Toxic productivity sering mengabaikan kesehatan mental dan fisik mereka. Kondisi ini berdampak negatif pada kehidupan sosial mereka, membuat interaksi dengan orang-orang terdekat menjadi terbatas. Sering kali, mereka juga menyalahkan diri sendiri ketika hasil kerja mereka tidak memenuhi harapan, yang semakin memperburuk keadaan mental dan emosional mereka. Dalam jangka panjang, pola ini dapat mengganggu kesejahteraan mereka secara keseluruhan dan menghalangi perkembangan pribadi. (Anjum, A., 2018).
Cara mengatasi toxic productivity
Salah satu solusi untuk menghindari produktivitas beracun adalah dengan menetapkan pencapaian yang realistis dan mengenali kemampuan diri. Dengan cara ini, individu tidak akan memaksakan diri untuk terlibat dalam kegiatan yang melebihi kapasitas mereka. Selain itu, penting untuk menjamin komunikasi yang sehat antara diri sendiri dan tubuh, memahami batasan serta kebutuhan fisik dan mental. Memberikan empati kepada diri sendiri juga merupakan langkah penting.(Ramadhina et al., 2023)
Untuk mengatasi produktivitas beracun di kalangan remaja, penting untuk memahami kebutuhan individu dan memberikan mereka ruang untuk beristirahat dan bersantai. Orang tua, pendidik, dan masyarakat harus mendukung remaja dalam menetapkan batasan yang sehat, serta memahami bahwa kegagalan dan istirahat adalah bagian alami dari proses pertumbuhan. Mereka juga perlu mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak hanya ditentukan oleh tingkat produktivitas. Mendukung kesejahteraan mental dan fisik remaja harus menjadi prioritas, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan bahagia.(Alni Tsabita et al., 2023)
Kesimpulan
fenomena “toxic productivity” yang mempengaruhi Generasi Z, terutama dalam konteks pendidikan dan kehidupan sosial. Produktivitas beracun ditandai dengan dorongan berlebihan untuk terus bekerja dan berprestasi, yang sering kali mengorbankan kesehatan mental dan fisik individu. Tekanan dari budaya kompetitif dan media sosial yang mengecewakan situasi ini, membuat banyak remaja merasa bersalah jika tidak selalu produktif.
Dampak dari kondisi ini terlihat dalam tingginya tingkat stres, kecemasan, dan kelelahan di kalangan siswa. Selain itu, pola pikir ini dapat mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional serta menghalangi perkembangan pribadi yang sehat.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi individu dan masyarakat untuk mencapai pencapaian yang realistis, memahami batasan, dan memberikan ruang untuk istirahat. Dukungan dari orang tua, pendidik, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu remaja mengenali bahwa kesehatan mental dan fisik lebih penting daripada sekadar produktivitas. Dengan demikian, Generasi Z dapat mencapai tujuan mereka tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka.
Daftar Pustaka
Anjum, A., & Dkk. (2018). An empirical study analyzing job productivity in toxic workplace environments. _International journal of environmental research and public health_, 15(5), 1-15.
Ramadhina, C., & Dkk. (2023). Pengendalian “Toxic Productivity” Dalam Menjaga Kesehatan Mental Pada Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Di Masa Pandemi Covid-19. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(2), 250–266. https://doi.org/10.14710/interaksi.12.2.250-266
Tsabita, A., & Dkk. (2023). Tren Toxic Productivity Sebagai Gejala Terjadinya Burnout Syndrome Terhadap Prestasi Akademik pada Remaja Rentang Usia 18-23 Tahun di Kota Bandung. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(4), 495–501. https://doi.org/10.55123/sosmaniora.v2i4.2774